cara menghitung mitoni adat jawa

Tujuanmelaksanakan mitoni yaitu memohon pertolongan kepada Allah. Upacara ini diselenggarakan untuk memohon keselamatan, baik bagi ibu yang mengandung maupun calon bayi yang akan dilahirkan. Mitoni adalah susunan upacara peredaran hidup yang saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Mitoni dilakukan saat usia kandungan berumur tujuh bulan. Dalamtradisi Jawa, mitoni tersebut merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat suku Jawa tersebut. Kata mitoni ini sendiri berasal dari kata " am " ( awalan am menunjukkan kata kerja ), + " 7 " atau pitu, yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitugan ke 7. CaraMenghitung 7 Bulanan Adat Jawa Biaya 7 bulanan 2019 : office 2010 unlicensed product fix. Terbaru / By Jeanne. Pada postingan kali ini saya akan sharing Info perihal Biaya 7 Bulanan 2019 : Office 2010 Unlicensed Product Fix - passlspec, Info ini dihimpun dari berbagai sumber jadi mohon maaf kalau informasinya tidak cukup lengkap atau Caramenghitung 3 bulanan bayi adat jawa. Sebelum turun tanahm bayi yang berusia . Agar tidak punah masyarakat jawa menggelar ritual menyambut usia 7 bulan pada seorang bayi yakni tradisi turun tanah. Acara selamatan ini dilakukan saat sang bayi berusia 35 hari atau selapan. Budaya lain yang ada di jawa yaitu adanya peringatan 3 bulanan dan 7. anything: macam- macam nasi tumpeng from dilanjutkan dengan prosesi brojolan agar si bayi lahir ke dunia . Cara menghitung 3 bulanan bayi adat jawa. Calon bayi yang mulai memiliki kehidupan agar sang calon bayi kelak . Mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan merupakan suatu prosesi adat jawa yang. hai năm thời gian có lẽ k quá dài. Mitoni ialah ritual yang dilakoni masyarakat Jawa saat usia kehamilan memasuki bulan ke-7. Pada usia ini, umumnya janin yang ada di dalam kandungan sudah hampir sempurna. Rasa antusias sekaligus cemas akan menghantui calon orangtua menjelang hari persalinan tiba. Untuk itulah, tradisi Mitoni digelar dengan tujuan menghaturkan doa dan harapan demi keselamatan dan kebaikan sang ibu dan calon bayi. Dalam menggelar prosesi Mitoni, ada beberapa ritual yang perlu dilakukan secara berurutan. Mulai dari sungkeman, siraman, hingga membagikan rujak kepada tamu undangan. Tidak hanya itu, tradisi Jawa juga identik dengan menyertakan simbolisasi berupa benda yang sarat akan makna luhur. Pun dalam upacara tujuh bulanan Mitoni, Anda perlu menyediakan beragam perlengkapan yang jumlahnya serba tujuh. Antara lain; bubur tujuh warna, ketan atau jadah tujuh rupa, tumpeng buceng yang berbentuk kerucut kecil, procotan yakni hidangan yang dibungkus daun pisang, aneka jajanan pasar, dan berbagai perlengkapan lainnya. Baca Juga √ 5 Tradsi atau Aturan di Jogja yang Kalau Dilanggar Bisa Bikin Merinding! Sungkeman Calon ibu dan ayah melakukan sungkeman kepada kedua orangtua guna memohon doa restu untuk keselamatan dan kelancaran pesalinan. Siraman Siraman atau mandi bertujuan untuk menyucikan secara lahir dan batin sang ibu dan calon bayi. Dengan balutan kain batik, sang ibu akan duduk dan disiram dengan air siraman yang telah ditaburi kembang setaman. Dipandu oleh seorang sesepuh atau orang yang bertugas memimpin jalannya prosesi ini, tujuh orang terpilih akan menyiram sang ibu menggunakan gayung dari batok kelapa. Prosesi siraman dimulai dari orang yang paling tua di keluarga, kemudian dilanjutkan dengan yang lainnya. Ngrogoh Cengkir Cengkir berarti tunas kelapa, sebagai simbolisasi cikal bakal bayi yang akan menjadi manusia dewasa kelak. Cengkir berjumlah dua buah, diambil oleh sang ayah, untuk selanjutnya dilaksanakan ritual brobosan meluncurkan Brojolan atau brobosan Sang ayah akan meluncurkan dua cengkir dari balik kain yang dipakan sang ibu. Cengkir atau kelapa muda yang dipakai sebelumnya telah dilukis Dewi Kamaratih melambangkan bayi wanita jelita dan Dewa Kamajaya melambangkan bayi pria rupawan. Membelah cengkir Kemudian, sang ayah membelah cengkir atau kelapa muda sebagai simbol untuk membukakan jalan si jabang bayi agar lahir pada jalannya. Pantes-pantesan Dalam prosesi pantes-pantesan, sang ibu akan berganti busana atau memantas-mantas busana sebanyak tujuh kali. Nantinya, undangan akan serempak menjawab tidak pantas sampai busana ke-6. Barulah busana yang ke-7 akan dipakai ibu. Ini menjadi salah satu ritual unik dalam prosesi Mitoni. Angrem Ibu dan ayah menirukan gaya ayam yang mengerami telur dan berkokok keras, sebagai lambang tanggung jawab calon ayah atas kehidupan dan kesejagtreraan sang calon bayi dan ibunya. Potong tumpeng Sebagai ungkapan rasa syukur bahwa selamatan tujuh bulanan telah dilaksanakan dengan lancar. Pembagian Takir Pontang Takir pontang adalah wadah untuk menyajikan makanan yang terbuat dari daun pohon pisang dan janur dan dibentuk menyerupai kapal. Bentuk takir pontang bermakna bahwa sang calon orangtua harus siap mengarungi bahtera rumah tangga layaknya kapal di lautan. Hidangan yang sudah diletakan pada takir pontang pun diberikan sebagai suguhan dan ucapan terima kasih dibagikan kepada para sesepuh yang menghadiri upacara. Baca Juga √ Tari Kipas Pakarena dari Sulawesi Selatan Jualan Dawet dan RujakT Menghidangkan makanan kesukaan orang hamil berupa rujak yang dibuat dari tujuh macam buah-buahan segar. Orang yang mau menerima dawet atau rujak dari sang ibu, harus membayarnya dengan sejumlah uang sebagai syarat.* Searches related to Ritual Tujuh Bulanan Adat Jawa adat 7 bulanan dalam islam upacara mitoni adat jawa cara menghitung 7 bulanan adat jawa acara tujuh bulanan sederhana acara 7 bulanan bayi adat jawa acara 7 bulanan adat sunda tata cara mitoni da ArticlePDF AvailableAbstractThis article discusses the Javanese tradition in the form of mitoni, the writing of this article aims to analyze the mitoni tradition carried out by people in Java, starting from the preparation before carrying out the mitoni tradition ceremony to the stage of implementing the mitoni tradition. The method used in writing this article is a literature study which is used as a source of data taken from journals and digital books, besides that the data collection technique also uses interview techniques conducted to actors who have carried out the mitoni tradition. The result of writing an article is in the form of a tradition which means that it is a habit that is carried out from the ancestors and then passed on from generation to generation from one generation to the next. In this article, we discuss the mitoni tradition. Mitoni is a tradition carried out by the Javanese people when a mother is pregnant with her first child at the age of seven months. This mitoni tradition usually includes the preparation of tools and materials before carrying out the mitoni tradition ritual, then doing the mitoni tradition starting from the bathing stage, splitting coconut ivory, changing seven kinds of cloth, selling dawet ice and rujak. Then when bathing, the dipper used is made of coconut shell. Furthermore, this article also discusses the meaning of the mitoni tradition which is also called tingkeban. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 170 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya Email Abstract This article discusses the Javanese tradition in the form of mitoni, the writing of this article aims to analyze the mitoni tradition carried out by people in Java, starting from the preparation before carrying out the mitoni tradition ceremony to the stage of implementing the mitoni tradition. The method used in writing this article is a literature study which is used as a source of data taken from journals and digital books, besides that the data collection technique also uses interview techniques conducted to actors who have carried out the mitoni tradition. The result of writing an article is in the form of a tradition which means that it is a habit that is carried out from the ancestors and then passed on from generation to generation from one generation to the next. In this article, we discuss the mitoni tradition. Mitoni is a tradition carried out by the Javanese people when a mother is pregnant with her first child at the age of seven months. This mitoni tradition usually includes the preparation of tools and materials before carrying out the mitoni tradition ritual, then doing the mitoni tradition starting from the bathing stage, splitting coconut ivory, changing seven kinds of cloth, selling dawet ice and rujak. Then when bathing, the dipper used is made of coconut shell. Furthermore, this article also discusses the meaning of the mitoni tradition which is also called tingkeban. Keywords Mitoni, Cultural Traditions, Javanese Community Pendahuluan Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki beribu-ribu pulau dengan beragam kebudayaan, suku bangsa, dan tradisi di setiap daerahnya disertai dengan keunikan yang dimiliki di masing-masing daerah. Salah satu tradisi yang dimiliki ialah tradisi mitoni yang dimiliki masyarakat Jawa1. Masyarakat yang ada di Jawa memiliki beragam kebudayaan yang di dalamnya masih terkandung nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah tradisi yang dilakukan saat kehamilan hingga ke tahap melahirkan, misalnya 1 Marliyana, Iskandarsyah, dan Wakidi, “Tradisi Mitoni Masyarakat Jawa di Desa Marga Kaya Kabupaten Lampung Selatan,” PESAGI 4, no. 1 2016. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 171 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 selamatan untuk bayi yang baru lahir selamatan brokohan, selamatan untuk bayi yang berusia 5 hari sepasaran, selamatan untuk bayi yang usinya 35 hari selapanan, selamatan untuk bayi yang berusia 3 bulan 15 hari telunglapan, tradisi 7 bulan kehamilan mitoni, dan tradisi saat bayi berusia 1 tahun ngetahuni2. Pelaksanaan selamatan kehamilan dalam bentuk sebuah tradisi merupakan bentuk rasa syukur serta memohon doa supaya calon bayi bisa mengalami pertumbuhan dengan sehat serta ketika hendak dilahirkan tidak menghadapi rintangan dan lahir dengan selamat. Selamatan yang dilakukan saat sang ibu mengandung seorang anak dapat berupa mapati, mitoni, dan maluhi3. Tradisi adalah semua yang meliputi kepercayaan, ajaran, kebiasaan, serta adat yang diwarisi dari nenek moyang ke generasi penerus secara turun temurun. Mitoni merupakan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa untuk memperingati tujuh bulan usia kandungan individu, mitoni sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu kata pitu yang memiliki arti tujuh. Oleh karena itu tradisi ini dilaksanakan pada kehamilan tujuh bulan. Upacara mitoni hanya dilaksanakan pada kehamilan anak pertama, sehingga pada kehamilan anak kedua, ketiga, dan seterusnya tradisi mitoni ini tidak dilakukan4. Tradisi juga dapat diartikan sebagai adat kebiasaan ataupun suatu proses kegiatan yang menjadi hak milik bersama di dalam suatu kelompok masyarakat, tradisi juga dilakukan secara terus-menerus dalam suatu masyarakat, dan dapat menjadi identitas suatu masyarakat. Selain itu ada juga yang namanya tradisi lisan, artinnya sebuah tradisi yang disampaikan secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang disampaikan melalui lisan5. Adapun di daerah-daerah lain, tradisi mitoni sering kali disebut dengan tingkeban yang dalam pelaksanaannya sudah disesuaikan dengan 2 Yohanes Boanergis, Jacob Daan Engel, dan David Samiyono, “Tradisi Mitoni Sebagai Perekat Sosial Budaya Masyarakat Jawa,” Jurnal Ilmu Budaya 16, no. 1 2019 49–62. 3 M. Yusuf Amin Nugroho et al., Ensiklopedia Kebudayaan Wonosobo Bimalukar Kreativa, 2020. 4 Wiranoto, Cok Bakal Sesaji Surabaya CV Jakad Publishing, 2018. 5 R. Sibarani, “Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan,” Jurnal Ilmu Budaya 1, no. 1 2015 1–17. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 172 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 adat, mulai dari hari pelaksanaanya yang ditentukan di hari Selasa atau hari Sabtu dan dilakukan di tanggal yang ganjil berdasarkan kalender Jawa, seperti tanggal 7 dan tanggal 15 di waktu siang hari pada pukul 11 Tradisi Mitoni yang dilakukan saat usia kehamilan 7 bulan, yang hanya dilakukan untuk anak pertama memiliki tujuan dalam pelaksanaanya berupa memberikan keselamatan bagi bayi saat berada dalam kandungan, saat sudah dilahirkan, dan hingga dewasa. Sehingga upacara mitoni dapat memberikan simbol bahwa anak akan selalu diberikan keberkahan oleh Yang Maha Esa. Tradisi mitoni bagi masyarakat Jawa sangat penting dilakukan, adapun dalam pelaksanaanya ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum upacara mitoni dilakukan, di antaranya yaitu mulai dari persiapan alat dan bahan, hidangan makanan, persiapan kain yang akan digunakan misalnya beragam kain yang di batik dengan motif yang berbeda7. Selain itu, tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk meminta permohonan agar diberi keselamatan bagi calon ibu dan calon anaknya. Di dalam rangkaian pelaksanaan tradisi mitoni juga mengundang keluarga, kerabat, dan tetangga untuk turut serta dan menyaksikan pelaksanaan tradisi mitoni yang dilakukan saat calon ibu mengandung anak pertama di usia kandungan yaitu tujuh bulan8. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan yaitu metode deskriptif. Menurut pendapat Travers 1978 metode deskriptif digunakan dengan tujuan memberikan gambaran mengenai sifat sesuatu yang sedang terjadi pada saat penelitian dilakukan dan memberikan pemeriksaan mengani sebab-sebab dari gejala tertentu9. Adapun dalam penggalian data yang didapatkan yaitu melalui teknik wawancara terhadap pelaku yang pernah menjalankan tradisi mitoni, dan menggunakan sumber lainnya seperti buku dan jurnal. 6 Puji Rahayu dan Dkk, Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Semarang Forum Muda Cendikia, 2019. 7 F. Setyaningsih, “Bentuk dan Makna Upacara Manusian Yadnya Mitoni dengan Tradisi Jawa,” Jurnal Agama Hindu 25, no. 2 2020 276–89. 8 Baidawi, Sejarah islam di Jawa Yogyakarta Araska, 2020. 9 H. Umar, Riset SDM dalam Organisasi Husein Umar Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2005. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 173 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Wawancara adalah sebuah pembicaraan yang mengarah kepada sebuah permasalahan tertentu meliputi tanya jawab secara lisan yang melibatkan 2 orang atau lebih serta bertatap muka, dan mendengarkan keterangan dari narasumber secara langsung saat melakukan wawancara10. Adapun menurut Dexter 1985 wawancara merupakan pembicaraan yang memiliki tujuan untuk memperoleh informasi mengenai seseorang, sebuah kejadian, sebuah kegiatan, sebuah perasaan dan motivasi serta informasi mengenai kepedulian11. Hasil dan Pembahasan Tradisi Mitoni adalah keadaan seorang wanita yang mengalami kehamilan di usia 7 bulan, sehingga dilakukan sebuah upacara atau ritual yaitu dengan melaksanakan tradisi mitoni yang meliputi tahap pemandian oleh 7 orang, setelah dimandikan kemudian dilakukan pergantian kain sebanyak 7 kain, tahap selanjutnya yaitu menjatuhkan kelapa gading dan di belah menjadi 2, kemudian dilakukan pemecahan telur, lalu menjual es dawet dan rujak yang akan di beli oleh keluarga, saudara, kerabat, dan teman temannya Wawancara Sarinah, 2021. Mitoni adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di tanah Jawa, kemudian tradisi ini dilakukan untuk memperingati usia kehamilan sang ibu yaitu berada pada usia tujuh bulan Wawancara Sabariyah, 2021. Mitoni adalah keadaan suami dan istri yang baru menikah, kemudian sang istri mengandung anak pertama di usia kandungan ke-7 bulan dilakukan sebuah ritual tradisi mitoni, akan tetapi jika usia kehamilan sudah lewat dalam usia 7 bulan maka tidak bisa dilakukan tradisi mitoni Wawancara Kosim M, 2021. Mitoni adalah sebuah tradisi yang dilakukan berupa ritual saat seorang wanita mengandung dengan usia kandungan 7 bulan. Prosesi pelaksanaan mitoni dapat meliputi pemandian ibu hamil dengan air yang sudah dicampur dengan bunga setaman dan dalam pemandian di selipkan doa-doa agar bisa mendapatkan rahmat dan keberkahan dari Tuhan, supaya sang anak di dalam kandungan dapat lahir secara sehat, selamat, tidak 10 Wiranoto, Makna Simbolik Cok Bakal dalam Upacara Adat Masyarakat Jawa Serta Implikasi Sosial Umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi Surabaya CV Jakad Publishing, 2019. 11 M. Nazir, Metode Penelitian Jakarta Ghalia Indonesia, 1998. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 174 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 memiliki kekurangan dalam anggota tubuh, dan mendapatkan rasa kebahagiaan dikehidupannya kelak12. Berdasarkan sejarahnya tradisi mitoni sudah ada sejak zaman pemerintahan seorang bernama Prabu Jayabaya, yang mengisahkan adanya seorang pasangan suami istri yang memiliki nama Niken Satingkeb dan Sadiyo punggawa di kerajaan Kediri. Niken melahirkan 9 anak dari rahimnya akan tetapi tidak ada satu pun dari anaknya tersebut yang hidup, sehongga mereka pergi ke seorang raja bernama Jayabaya menceritakan cerita hidupnya dan meminta agar bisa memiliki anak kembali serta tidak mengalami kejadian yang terjadi dimasa lalunya. Sang Raja Jayabaya akhirnya memberikan sebuah petunjuk untuk Niken Satingkeb supaya melakukan 3 ritual yaitu mandi setiap hari rabu, mandi setiap hari sabtu, mandi suci di sore hari sekitar jam Selain itu alat mandi yang digunakan yaitu berupa gayung tempurung kelapa dan dalam proses pemandian diselipkan doa-doa13. Pelaksanaan tradisi mitoni pada masyarakat Jawa biasanya dilakukan saat kehamilan berusia 7 bulan memiliki rangkaian acara dalam perspektif agama islam meliputi pembacaan ayat suci Al-Qur’an terutama surah Yusuf dan surah Maryam, melakukan khataman Al-Qur’an, melakukan tahlilan, berdoa dan berzikir bersama-sama, serta menyantap makanan yang telah dihidangkan bersama-sama. Tradisi mitoni menggambarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan pendidikan sejak berada di kandungan sang ibu dengan melakukan tradisi ini mulai dari proses pemandian dengan air yang dicampurkan dengan bunga setaman dan dibacakan doa-doa saat prosesi pemandian, yang bertujuan untuk meminta permohonan kepada Allah SWT. supaya anak mendapatkan keberkahan dan rahmat serta dapat lahir secara sehat walafiat dan selamat14. Adapun mitoni juga sering kali disebut tingkeban yang memiliki sebuah arti yaitu selamatan pada saat kehamilan berusia tujuh bulan, kata tingkeb memiliki arti yaitu telah genap atau sudah saatnnya atau juga bisa diartikan bahwa jika bayi lahir di usia tujuh bulan dalam kandungan, hal ini telah di pandang wajar15. 12 Muhammad Mustaqim, “Pergeseran Tradisi Mitoni Persinggungan Antara Budaya dan Agama,” Jurnal Penelitian 11, no. 1 2017 119–40. 13 Mustaqim. 14 Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah Kajian Tradisi Islam Jepara Uninus Press, 2019. 15 Sholikhim, Ritual dan Tradisi Islam Jawa Yogyakarta Narasi, 2010. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 175 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan tradisi mitoni Wawancara Sarinah, 2021 antara lain 1. Kelapa Gading 2. Tujuh kain 3. Tujug gayung air sumur 4. Bunga setaman 7 warna 5. Telur Selain itu ada pula persiapan menurut Wawancara Kosim M, 2021 sebelum melakukan tradisi mitoni yaitu 1. Harus mempersiapkan dua buah kelapa Gading yang di gambar dengan sepasang wayang laki laki yaitu arjuna dan wayang perempuan yaitu Sumbadra. 2. Mengambil air dari tujuh sumur, banyaknya air dari satu sumur yaitu sebanyak satu gayung disetiap sumur. 3. Bunga tujuh warna. Bunga ini dicampurkan dengan air yang sudah diambil dari tujuh sumur. Menurut ibu Sabariyah Wawancara, 2021, persiapan tradisi mitoni dapat meliputi 1. Menyiapkan air dari tujuh sumur 2. Bunga tujuh warna 3. Kelapa gading yang kecil 4. Telur 5. Tujuh kain 6. Es Dawet dan Rujak Selain persiapan alat, bahan dan perlengkapan, di dalam pelaksanaan tradisi mitoni juga diperlukan penetapan waktu pelaksanaan yang ditentukan oleh calon ayah dan calon ibu. Waktu pelaksanaan tradisi mitoni yang ditetapkan harus sesuai dengan hari baik dalam hitungan kalender Jawa, misalnya hari senin kliwon, hari kamis kliwon, ahad pon16. Adapun untuk tanggal pelaksanaan tradisi mitoni ditetapkan di tanggal yang ganjil serta tidak melewati bulan purnama, misalnya pada tanggal ganjil meliputi tiga, lima, tujuh, sembian, sebelas, tiga belas, dan tanggal lima belas. Tradisi mitoni ini termasuk ke dalam salah satu kepercayaan masyarakat Jawa yang beranggapan bahwa seorang bayi yang 16 E. Setiawan, “Nilai Religius Tradisi Mitoni dalam Perspektif Budaya Bangsa Secara Islami,” Jurnal Al-Adalah 18, no. 1 2015 39–52. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 176 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 ada di dalam kandungan yang berusia tujuh bulan mulai mendapatkan kehidupan, oleh sebab itu diadakannya tradisi mitoni atau tingkeban untuk selamatan atas kehamilan sang ibu yang mengandung anak pertama17. Perlengkapan bunga sebanyak 7 warna yang penggunaannya yaitu dicampurkan dengan air yang berasal dari 7 sumur berguna untuk sang calon ibu yang akan dimandikan, tujuannya agar calon ibu menjadi wangi dan bersih. Selain itu 7 kain yaitu kain jarit yang digunakan juga memiliki fungsi atau kegunaan sebagai baju ganti calon ibu saat melakukan proses mitoni. Hal ini menyimbolkan jarit sebagai tali pusar bayi sehingga, kelak saat dilahirkan bayi dapat keluar dengan lancar, dan tidak terjadi lilitan tali pusar pada bayi. Kemudian pemecahan telur yang di dapatkan dari ayam kampung dipecahkan, menyimbolkan jika sang calon ibu mengalami pecah ketuban, maka diharapkan saat itu juga bayi bisa lahir dengan selamat18. Selanjutnya setelah dilakukan persiapan ditahap selanjutnya terdapat tahap pelaksanaan tradisi mitoni yang meliputi 1. Siraman, pada tahap siraman ibu hamil diamndikan dengan air dan bunga setaman meliputi bunga mawar, kantil, melati, kenanga. Siraman dilakukan oleh para orang yang lebih tua atau yang sudah biasa melakukan pemandian pada tradisi mitoni. Siraman yang pada ibu hamil yang sedang melaksanakan tradisi mitoni, dilakukan 7 kali siraman dengan tujuan supaya kelak ketika bayi lahir dalam keadaan yang suci dan bersih19. Di dalam tahap siraman ini dilakukan oleh 7 orang yaitu nenek, kakek, orang tua, dan mertua yang akan memandikan sang ibu hamil yang menjalankan tradisi mitoni Wawancara Sarinah, 2021. 2. Telur ayam kampung yang telah disiapkan, kemudian dimasukkan ke dalam kain yang di pakai oleh sang ibu hamil yang menjalankan tradisi mitoni, yang dilakukan oleh suaminya. Tahapan ini 17 W. Abdullah, “Kearifan Lokal Jawa dalam Tradisi Mitoni di Kota Surakarta,” Journal of Language Education, Literature, and Local Culture 3, no. 1 2021 19–26. 18 I. Baihaqi, “Karakteristik Tradisi Mitoni di Jawa Tengah sebagai Sebuah Sastra Lisan,” Jurnal Arkhais 8, no. 2 2017. 19 I. Ulya, “Nilai Pendidikan dalam Tradisi Mitoni Studi Tradisi Perempuan Jawa Santri Mendidik Anak dalam Kandungan di Pati. Jawa Tengah,” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 2018 116–30. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 177 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 melambangkan bahwa kelak saat proses bayi dilahirkan tanpa adanya rintangan dan berjalan secara lancar20. 3. Selanjutnya memasukkan kelapa gading 2 buah ke dalam kain yang di gunakan oleh sang ibu hamil yang sedang melaksanakan tradisi mitoni. Kelapa gading dimasukkan oleh sang suami sejumlah 2 buah, sudah digambar wayang Arjuna dan wayang Sumbadra. Karakter wayang yang digambarkan melambangkan agar kelak anak-anak dilahirkan memiliki karakter seperti Arjuna dan Sumbadra21. dua buah kelapa Gading yang di gambar dengan sepasang wayang laki laki yaitu arjuna dan wayang perempuan yaitu Sumbadra. Penggambaran wayang ini memiliki makna bahwa jika anaknya laki-laki kelak akan seperti Arjuna dan jika perempuan akan seperti Sumbadra yang memiliki pikiran yang luas, tidak mudah menaruh rasa cemburu, tidak mudah menerima sebuah isu yang belum diketahui kebenarannya Wawancara Kosim M, 2021. 4. Mengganti pakaian ibu dengan 7 kain jarit, dengan motif yang berbeda selanjutnya yang menyaksikan tradisi mitoni dimintah memilihkan kain mana yang cocok dipakaikan kepada calon ibu22. Setelah memecahkan telur dan membelah kelapa gading, calon ibu dari bayi di minta untuk mengganti pakaian menggunakan kain jarik yang sudah disiapkan sebanyak 7 kain Wawancara Sabariyah, 2021. 5. Penjualan rujak dan dawet, para pembeli hanya boleh membayar menggunakan uang logam yang terbuat dari genteng yang di pecahkan, kemudian dibentuk menjadi bulat seperti uang logam. Setelah selesai berjualan, uang logam di masukkan ke kuali tanah liat lalu dipecahkan kembali tepat di bagian depan pintu. Hal ini bertujuan agar calon bayi kelak murah rezekinya, serta mampu dalam memenuhi kebutuhannya dan keluarganya23. 6. Menggelar jamuan dan kenduri dengan tujuan sebagai rasa bersyukur atas karunia serta rahmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha 20 I. Adriana, “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban,” Jurnal KARSA 19, no. 2 2011 239–47. 21 Retno Intani dan Novita Damayanti, “Pemaknaan Tradisi Mitoni Adat Jawa Tengah pada Pasangan Jawa dan Padang,” Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 2, no. 1 2018 539–52. 22 Adriana, “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban.” 23 Intani dan Damayanti, “Pemaknaan Tradisi Mitoni Adat Jawa Tengah pada Pasangan Jawa dan Padang.” Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 178 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Esa. Makanan yang disediakan dapat berupa tumpeng yang menyimbolkan kelak calon bayi terlahir sehat dan kuat, serta adanya lauk pauk yang disediakan diantara tumpeng tersebut. Kemudian menyediakan beragam jajanan pasar yang dipercaya akan menimbulkan kekuatan, jika jajanan pasar disediakan secara lengkap sehingga melambangkan doa dan pengharapan akan dikabulkan24. Simpulan Tradisi mitoni merupakan sebuah tradisi Jawa yang dilakukan pada ibu hamil yang mengandung anak pertama dan dalam usia kehamilan yaitu tujuh bulan. Dalam tradisi mitoni ini dilakukan untuk memberikan keselamatan bagi bayi saat berada dalam kandungan, saat sudah dilahirkan, dan hingga dewasa. Adapun dari segi historisnya tradisi mitoni berasal dari seorang wanita bernama Niken Satingkeb yang kehilangan 9 anaknya yang kemudian berkonsultasi dan meminta saran dari Jayabaya yang memberikan saran berupa mandi setiap hari rabu, mandi setiap hari sabtu, mandi suci di sore hari sekitar jam Selain itu alat mandi yang digunakan yaitu berupa gayung tempurung kelapa dan dalam proses pemandian diselipkan doa-doa. Adapun persiapan yang harus dilakukan sebelum melaksanakan tradisi mitoni ini antara lain dengan menyiapkan telur yang diperoleh dari ayam kampung, kelapa gading yang kemudian diberi gambaran karakter wayang Arjuna dan karakter wayang Sumbadra, lalu menyiapkan 7 kain jarik, bunga 7 warna, dan air yang diperoleh dari 7 sumur. Selanjutnya setelah proses persiapan selesai maka masuk ke dalam tahap pelaksanaan yang meliputi siraman dengan air yang sudah dicampur dengan bunga 7 warna, memecahkan telur, membelah kelapa gading, mengganti pakaian menggunakan kain jarik yang telah disiapkan, berjualan es dawet dan rujak kemudian yang terakhir adalah mengadakan jamuan dan kenduri serta menyediakan jajanan pasar untuk para tamu, keluarga, sanak saudara. 24 Intani dan Damayanti. Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 179 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Daftar Sumber Buku Baidawi, Sejarah islam di Jawa. Yogyakarta Araska, 2020. Nugroho, M. Yusuf Amin, Agus Wuryanto, Farid Gaban, Erwin Abdillah, dan Fatkhul Wahid. Ensiklopedia Kebudayaan Wonosobo. Bimalukar Kreativa, 2020. Rahayu, Puji, dan Dkk. Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Semarang Forum Muda Cendikia, 2019. Sholikhim. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta Narasi, 2010. Subaidi. Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah Kajian Tradisi Islam. Jepara Uninus Press, 2019. Umar, H. Riset SDM dalam Organisasi Husein Umar. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2005. Wiranoto. Cok Bakal Sesaji. Surabaya CV Jakad Publishing, 2018. ———. Makna Simbolik Cok Bakal dalam Upacara Adat Masyarakat Jawa Serta Implikasi Sosial Umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi. Surabaya CV Jakad Publishing, 2019. Journals Abdullah, W. “Kearifan Lokal Jawa dalam Tradisi Mitoni di Kota Surakarta.” Journal of Language Education, Literature, and Local Culture 3, no. 1 2021 19–26. Adriana, I. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban.” Jurnal KARSA 19, no. 2 2011 239–47. Baihaqi, I. “Karakteristik Tradisi Mitoni di Jawa Tengah sebagai Sebuah Sastra Lisan.” Jurnal Arkhais 8, no. 2 2017. Boanergis, Yohanes, Jacob Daan Engel, dan David Samiyono. “Tradisi Mitoni Sebagai Perekat Sosial Budaya Masyarakat Jawa.” Jurnal Ilmu Budaya 16, no. 1 2019 49–62. Intani, Retno, dan Novita Damayanti. “Pemaknaan Tradisi Mitoni Adat Jawa Tengah pada Pasangan Jawa dan Padang.” Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 2, no. 1 2018 539–52. Marliyana, Iskandarsyah, dan Wakidi. “Tradisi Mitoni Masyarakat Jawa di Mitoni sebagai Tradisi Budaya dalam Masyarakat Jawa Fitri Nuraisyah, Hudaidah 180 H i s t o r i a M a d a n i a V o l u m e 5 2 2 0 2 1 Desa Marga Kaya Kabupaten Lampung Selatan.” PESAGI 4, no. 1 2016. Mustaqim, Muhammad. “Pergeseran Tradisi Mitoni Persinggungan Antara Budaya dan Agama.” Jurnal Penelitian 11, no. 1 2017 119–40. Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta Ghalia Indonesia, 1998. Setiawan, E. “Nilai Religius Tradisi Mitoni dalam Perspektif Budaya Bangsa Secara Islami.” Jurnal Al-Adalah 18, no. 1 2015 39–52. Setyaningsih, F. “Bentuk dan Makna Upacara Manusian Yadnya Mitoni dengan Tradisi Jawa.” Jurnal Agama Hindu 25, no. 2 2020 276–89. Sibarani, R. “Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan.” Jurnal Ilmu Budaya 1, no. 1 2015 1–17. Ulya, I. “Nilai Pendidikan dalam Tradisi Mitoni Studi Tradisi Perempuan Jawa Santri Mendidik Anak dalam Kandungan di Pati. Jawa Tengah.” Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 1 2018 116–30. ... Selain itu, perlengkapan mandi yang di gunakan berupa batok kelapa dan pada saat prosesi mandi di selipkan doa-doa khusus. Adapun pelaksanaan tradisi tingkeban pada masa Hindu ini dimaksudkan sebagai bentuk permohonan kepada sang Dewa agar senantiasa diberikan keturuan yang berumur panjang, serta bentuk pengharapan atas kesehatan bagi ibu yang sedang mengandung dan janin yang sedang dikandungnya Nuraisyah & Hudaidah, 2021 Secara struktural, dalam pelaksanaan tradisi tingkeban telah di bumbui dengan nilainilai pendidikan aqidah, ibadah dan akhlak. Misalnya dalam tradisi tingkeban terdapat nilainilai pendidikan budi pekerti atau akhlakul karimah sikap dan perbuatan terpuji. ...... Jenis kain diantaranaya Sidomukti melambangkan kebahagian dan kewibawaan, Sidoluhur melambangkan kemuliaan, Truntun teguh pendirian, Parang Kusuma Perjuangan hidup, Semen Rama memiliki cinta dan kasih saying, Udan Riris harapan agar nantinya sang bayi hidupnya selalu menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari, Cakar Ayam kemandirian Nuraisyah & Hudaidah, 2021. ... Miftahul JannahAhmad RivauziThis study aims to determine the values of Islamic education in the tingkeban tradition in the Javanese tribal community in Nagari Preparation Limau Puruik, Kinali District, West Pasaman Regency. This research uses a qualitative approach with ethnographic methods. Researchers collect primary data from observations, interviews and secondary data from literature review. The sample in this study used a non-probability sampling technique with purposive nature with six informants. In this study, the author uses the technique of triagulation of source data. Data analysis techniques using data reduction, data presentation, and drawing conclusions. Data collection techniques using documentation, interviews, and observations. The results of this study are to determine the series of implementation of the tingkeban tradition and to find out that there has been a process of Islamization of the tingkeban tradition in Nagari Limau Puruik Preparation, the implementation of the tingkeban tradition has been flavored with Islamic values consisting of aqidah, worship and moral UlyaMitoni is a Javanese tradition that performs special rituals. This tradition highlights a philosophical meaning for Javanese women, particularly educational values for a baby in the womb. Concerning its development, these values have shifted from its original meaning promoted by both native Javanese women and Javanese santri students in Islamic boarding schools women. This present study aims to explore educational values for the baby during Mitoni. A descriptive study of continuity was employed in this research. The findings reveal three characteristics of Javanese women’s perspectives on this tradition based on their subjects, namely 1 formalistic-traditionalist Islamic view, 2 semi-formalistic-traditionalist Islamic view, and 3 pure Islamic view. Meanwhile, Mitoni, the Javanese tradition, proposes several educational values for the baby according to the Javanese santri women in Pati, Central Java. First, Mitoni provides the baby with the recognition basis of tauheed oneness of Allah. Second, it enhances parents or prospective parents’ spirit when they educate the baby during pregnancy. Third, this tradition emerges as their effort to give good nutrition for the baby, especially in the seventh month-period of pregnancy. Lastly, Mitoni also demonstrates meaningful understanding for current young generations to preserve this cultural Javanese tradition so as to exist in the futureFarida SetyaningsihDalam masyarakat manusia, yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai tempat waktu dan keadaan maka cara-cara yang ditempuh dalam menunjukkan rasa bhakti pada Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya maka perlu memahami acara Agama Hindu. Demikian juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta inilah maka umat Hindu supaya betul-betul melaksanakan Tri hita karana sesuai dengan ajaran dianugerahi pemikiran, perasaan,daya karsa dan usaha, oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kualitasnya sebagai manusia perlu kiranya meningkatkan pengetahuan tentang sradha bakti dan karmanya untuk mewujudkan tujuan beragama Hindu yaitu Moksartham Jagadita ya ca iti Dharma. Tidak lepas dari ajaran agama pelaksanaan upacara manusia yadnya upacara Mitoni dengan tradisi Jawa ini sudah sangat langka di masyarakat Jawa melaksanakan. Oleh karena itu penulis mengangkat judul Bentuk dan Makna Upacara Manusia Yadnya Mitoni dengan tradisi Jawa. Tujuannya supaya generasi penerus mengetahui dan memahami upacara Mitoni dengan tradisi Jawa yang benar dan lengkap. Mengetahui dan memahami bentuk sesaji/banten yang dibuat dan dihaturkan, serta mengetahui dan memahami makna sesaji/banten yang dibuat, diahturkan dan prosesi yang dilaksanakannya. Sehingga semua proses dari awal, pertengahan hingga akhir dari upacara mitoni dengan tradisi jawa ini masyarakat memahami. Macam-macam peralatan yang harus dipersiapkan yaitu Satu meja yang ditutup dengan kain putih bersih. Di atasnya ditutup lagi dengan bangun tolak, kain sindur, kain lurik, Yuyu sekandang, mayang mekak atau letrek, daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-alang. Bahan bahan tersebut untuk lambaran waktu siraman,Bokor di isi air tujuh mata air, dan kembang setaman untuk siraman,Batok tempurung sebagai gayung siraman ciduk,Boreh untuk mengosok badan pengganti sabun, Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir, Dua anduk kecil untuk menyeka dan mengeringkan badan setelah siraman, Dua setengah meter kain mori dipergunakan setelah selesai siraman, Sebutir telur ayam kampung dibungkus plastik, Dua cengkir gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Dewi Wara Sembodro, Dua meter lawe atau janur kuning, Baju dalam dan nampan untuk tempat kebaya dan tujuh nyamping, dan stagen diatur rapi, Perlengkapan Kejawen kakung dengan satu pasang kain truntum. Calon ayah dan ibu berpakain komplet kejawen, calon ibu dengan rambut terurai dan tanpa perhiasan. Upacara mitoni tak terlepas dari beragam sesaji sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Bawah ini merupakan sesaji yang dihaturkan dalam upacara mitoni sebagai berikut Tujuh Macam Bubur, termasuk bubur Procot, Tumpeng Kuat, yang bermakna bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat, Tumpeng dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias, Jajan Pasar, syaratnya harus beli di pasar Kue, buah, makanan kecil, Rujak buah-buahan tujuh macam, dihidangkan sebaik-baiknya supaya rujaknya enak, bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga, Dawet, supaya menyegarkan, Keleman, semacam umbi-umbian, sebanyak tujuh BaihaqiPenelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik tradisi mitoni yang terdapat di Jawa Tengah sebagai salah satu jenis sastra lisan. Karakteristik dalam tradisi mitoni yang ada di Jawa Tengah tersebut dapat diuraikan dan dianalisis dengan teori sastra lisan Ruth Finnegan yang berkaitan dengan komponen dalam sebuah pertunjukan sastra lisan. Kajian ini diharapkan dapat membuat karakterisasi budaya dan mengangkat kembali tradisi mitoni yang selama ini mungkin semakin terasingkan oleh masyarakatnya sendiri sebagai salah satu dampak dari globalisasi dan modernisasi. Hal yang dikaji dalam penelitian ini adalah komponen-komponen dalam tradisi mitoni berupa penutur, properti, partisipan, dan bacaan atau doa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif sintesis. Kata kunci karakteristik mitoni, tradisi mitoni di Jawa Tengah, komponen sastra lisan Robert SibaraniDalam makalah ini dibahas tentang bagaimana kajian antropolinguistik mampu membedah suatu tradisi lisan dan menghasilkan suatu analisis yang apik dari hubungan keduanya. Dalam pembahasan ada tiga pendekatan utama dalam kajian antropolinguistik yaitu performansi performance, indeksikalitas indexicalty, partisipasi participation,yang terbukti efektif dalam mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks budaya, ideologi, sosial, dan situasi suatu tradisi lisan yang dilatarbelakangi unsur-unsur budaya dan aspek kehidupan manusia yang berbeda-beda. Dengan mengacu pada teori Duranti 1977 14, disimpulan dalam akhir pembahasan bahwa meskipun pendekatan antropolinguistik terhadap kajian tradisi lisan terkesan’ tumpang-tindih dengan pendekatan linguistik budaya cultural linguistics dan etnolinguistik ethnolinguistics lihat Folley, 199716 , namun dengan jabaran penekanan tertentu pada kajian antropolinguistik, yaitu penekanan antropolinguistik dalam menggali makna, fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal suatu tradisi lisan, konsep ketiganya dapat dibedakan. Lebih dari pada itu, pendekatan antropolinguistik mampu merumuskan model revitalisasi dan pelestarian suatu tradisi lisan. Dalam hal inilah ciri pembeda kajian antropolinguistik dengan pendekatan yang lain terlihat kuat dan Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Semarang Forum Muda CendikiaPuji RahayuDan DkkRahayu, Puji, dan Dkk. Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Semarang Forum Muda Cendikia, AdrianaNeloniMitoniTingkebanAdriana, I. "Neloni, Mitoni, atau Tingkeban." Jurnal KARSA 19, no. 2 2011 BoanergisJacob Daan EngelDavid SamiyonoBoanergis, Yohanes, Jacob Daan Engel, dan David Samiyono. "Tradisi Mitoni Sebagai Perekat Sosial Budaya Masyarakat Jawa." Jurnal Ilmu Budaya 16, no. 1 2019 Tradisi Mitoni Adat Jawa Tengah pada Pasangan Jawa dan PadangRetno IntaniNovita DanDamayantiIntani, Retno, dan Novita Damayanti. "Pemaknaan Tradisi Mitoni Adat Jawa Tengah pada Pasangan Jawa dan Padang." Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 2, no. 1 2018 539-52. Bagi masyarakat Jawa, menghitung masa kehamilan hingga tujuh bulan sangatlah penting karena terkait dengan adat dan budaya. Cara menghitung 7 bulanan adat Jawa bisa dilakukan dengan mengacu pada kalender Jawa yang diketahui memiliki sistem penanggalan unik. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, pada usia tujuh bulan janin sudah memiliki semacam jati diri dan kemungkinan besar akan selamat hingga kelahiran. Oleh karena itu, menjalankan tradisi 7 bulanan dalam kehamilan dianggap sebagai tindakan yang penting untuk memastikan keselamatan ibu dan janin. Mengenal Tradisi 7 Bulanan dalam Adat Jawa 1. Memilih Hari yang Tepat2. Menyiapkan Perlengkapan untuk Menghitung 7 Bulanan3. Menyiapkan Makanan dan Minuman4. Menentukan Tamu yang akan Diundang5. Bersih-bersih Rumah dan Tempat MenghitungPenutup Adat Jawa merupakan salah satu budaya yang kaya akan tradisinya. Salah satu tradisi yang masih dijalankan hingga kini yaitu tradisi 7 bulanan. Tradisi ini sering dikenal sebagai Mitoni, dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa. Mitoni berasal dari kata menstruasi atau Ngudi Reka yang berarti mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Kegiatan ini biasanya diadakan ketika seorang wanita hamil 7 bulan sebagai bagian dari persiapan persalinan. Tradisi 7 bulanan biasanya dianggap sebagai salah satu upacara turun temurun yang penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Upacara ini dilakukan oleh keluarga besarnya sebagai bentuk syukur dan doa agar ibu dan bayinya selalu sehat serta selamat hingga kelahirannya nanti. Dengan melaksanakan tradisi ini, diharapkan ibu dan bayinya akan diberikan kekuatan dan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Upacara 7 bulanan diawali dengan persiapan yang matang oleh keluarga. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari tempat upacara, perlengkapan dan makanan. Ada beberapa makanan khusus yang wajib disajikan pada upacara ini, seperti nasi tumpeng, jajan pasar, dan barang lainnya. Tujuan dari menyajikan makanan ini adalah untuk memperingati kelahiran sang bayi dan sebagai bentuk syukur serta ucapan doa. Selain makanan, ada beberapa perlengkapan yang disiapkan, seperti kain batik, sirih, bunga, dan sesajen. Kain batik biasanya digunakan sebagai selendang ibu hamil dalam upacara ini. Sirih dan bunga digunakan sebagai hiasan dan sesajen sebagai persembahan kepada arwah para leluhur yang juga diundang pada upacara 7 bulanan. Ada beberapa rangkaian acara dalam upacara 7 bulanan yang harus diikuti. Pertama adalah ngalap berkah untuk meminta keberkahan dan keselamatan bagi ibu hamil dan janinnya. Setelah itu, dilakukan Sedekah Bumi, yaitu memberikan sedekah kepada kaum dhuafa di lingkungan sekitar. Kemudian, setelah penyebaran sedekah bumi dilakukan, akan ada acara Sungkeman, yaitu menghormati dan memberi hormat kepada arwah para leluhur. Biasanya diadakan di rumah pusaka keluarga sebagai bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang masih dihormati dalam budaya Jawa. Setelah sungkeman selesai, dilakukan acara Selametan sebagai tanda syukur dan doa. Biasanya makanan khas Jawa disajikan dalam Selametan, seperti tumpeng, jenang, cenil, dan sejenisnya. Ada beberapa aturan yang harus diikuti dalam mengonsumsi makanan yang disajikan, seperti makanan harus dikonsumsi dalam posisi duduk, dan makanan harus dihidangkan dengan cara yang berbeda-beda. Tradisi 7 bulanan sangat penting bagi masyarakat Jawa. Selain sebagai bentuk syukur, upacara ini juga sebagai upaya persiapan dan doa bagi ibu hamil dan bayinya. Semoga tradisi ini tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Jawa agar warisan budayanya tetap hidup hingga generasi selanjutnya. Persiapan Sebelum Menghitung 7 Bulanan Menghitung 7 bulanan adalah tradisi yang masih dijalankan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini biasanya dilakukan ketika seorang ibu hamil sudah memasuki usia 28 minggu atau kurang lebih 7 bulan. Pada saat itu, keluarga besar ibu hamil akan berkumpul untuk merayakan keberhasilan ibu hamil dalam menjaga kandungannya. Proses menghitung 7 bulanan dianggap penting bagi masyarakat Jawa karena diyakini akan membawa keberuntungan bagi ibu dan bayinya. Sebelum melakukan proses menghitung 7 bulanan, terdapat beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh keluarga besar dan ibu hamil sendiri sebagai berikut 1. Memilih Hari yang Tepat Menghitung 7 bulanan biasanya dilakukan pada hari yang dianggap baik menurut kalender Jawa. Keluarga besar ibu hamil akan mengunjungi seorang Dukun yang kemudian akan menentukan hari yang paling baik untuk melakukan proses menghitung 7 bulanan. 2. Menyiapkan Perlengkapan untuk Menghitung 7 Bulanan Keluarga besar ibu hamil juga perlu menyiapkan perlengkapan untuk menghitung 7 bulanan, termasuk alas yang akan digunakan ketika proses menghitung dilakukan. Alas tersebut biasanya terbuat dari tikar atau kain yang diberi hiasan khas Jawa seperti batik atau songket. Selain alas, keluarga juga perlu menyiapkan benda-benda yang akan dipakai saat proses menghitung, seperti telur, beras, air, bunga, dan lain-lain. Semua perlengkapan ini perlu dipersiapkan dengan teliti agar proses menghitung 7 bulanan berjalan dengan lancar. 3. Menyiapkan Makanan dan Minuman Selain menyiapkan perlengkapan untuk menghitung 7 bulanan, keluarga besar ibu hamil juga perlu menyiapkan makanan dan minuman. Biasanya, keluarga akan memasak berbagai macam makanan yang khas Jawa, seperti nasi tumpeng, ayam goreng, sayur lodeh, dan lain-lain. Selain makanan, keluarga juga harus menyiapkan minuman yang paling umum adalah air jamu. Air jamu ini biasanya terbuat dari bahan-bahan alami seperti daun sirsak, kunyit, temulawak, dan lain-lain. Air jamu ini dianggap baik untuk kesehatan ibu dan bayinya. 4. Menentukan Tamu yang akan Diundang Keluarga besar ibu hamil biasanya akan mengundang kerabat dan sahabat yang dekat untuk datang dan merayakan proses menghitung 7 bulanan. Sebelum hari H, keluarga besar perlu membuat daftar tamu yang akan diundang dan memberitahukan mereka tentang waktu, tempat, dan jam yang tepat untuk datang. Hal ini perlu dilakukan agar semua orang yang diundang dapat hadir saat acara berlangsung. 5. Bersih-bersih Rumah dan Tempat Menghitung Saat melakukan proses menghitung 7 bulanan, keluarga besar ibu hamil biasanya akan berkumpul di rumah. Oleh karena itu, sebelum melakukan proses menghitung, keluarga besar perlu membersihkan rumah dan tempat menghitung agar acara berlangsung dengan lancar dan nyaman. Selain itu, keluarga juga perlu menata ulang rumah agar tamu yang datang merasa nyaman dan tidak merasa sesak. Dari beberapa persiapan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menghitung 7 bulanan adalah sebuah tradisi yang memerlukan persiapan yang teliti. Proses menghitung ini diyakini akan membawa keberuntungan bagi ibu hamil dan bayinya. Oleh karena itu, proses menghitung 7 bulanan patut dijaga keaslian dan tetap dipertahankan sebagai bagian dari budaya Indonesia. Cara Menghitung 7 Bulanan Berdasarkan Weton Cara menghitung 7 bulanan adat jawa adalah salah satu tradisi yang masih dijalankan oleh masyarakat Jawa. Tujuannya adalah untuk memperingati usia kehamilan ibu hamil yang telah mencapai 7 bulan. Perayaan ini diadakan dengan tujuan agar bayi dalam kandungan dapat tumbuh sehat, selamat, dan lahir dengan baik. Salah satu cara menghitung 7 bulanan adalah dengan menggunakan metode weton. Weton adalah kalender Jawa yang terdiri dari siklus 5 hari, 7 hari, dan 35 hari. Setiap orang memiliki weton yang berbeda-beda. Weton terdiri dari 2 hari yaitu hari pasaran dan hari legi. Hari pasaran mewakili siklus 5 hari dan hari legi mewakili siklus 7 hari. Cara menghitung 7 bulanan berdasarkan weton adalah sebagai berikut 1. Mencari Hari Kelahiran Bayi Langkah pertama dalam menghitung 7 bulanan adat jawa adalah dengan mencari hari kelahiran bayi. Hal ini sangat penting karena hari kelahiran bayi menjadi acuan dalam menentukan hari 7 bulanan. Cara mencari hari kelahiran bayi adalah dengan melihat kalender atau bertanya kepada orang tua. 2. Menentukan Weton Bayi Setelah mengetahui hari kelahiran bayi, langkah selanjutnya adalah menentukan weton bayi. Weton bayi dapat dilihat dengan menggunakan kalender Jawa atau bertanya kepada orang tua. Setelah mengetahui weton bayi, langkah selanjutnya adalah mencari pasaran yang sesuai. 3. Memilih Hari 7 Bulanan Setelah mengetahui pasaran, selanjutnya adalah memilih hari 7 bulanan yang tepat. Ada beberapa aturan yang harus diperhatikan dalam memilih hari 7 bulanan adat jawa. Pertama, hari 7 bulanan harus jatuh pada hari pasaran yang sama dengan hari kelahiran bayi. Kedua, hari 7 bulanan harus jatuh pada hari yang sama dengan weton bayi. Ketiga, hari 7 bulanan harus jatuh pada hari yang sama dengan legi dari weton bayi. Sebagai contoh, jika bayi lahir pada hari Selasa Legi dan weton bayi menunjukkan hari Kamis Pahing, maka hari 7 bulanan harus jatuh pada hari Selasa Legi dan pada siklus legi yang sama dengan weton bayi. Jika ketiga aturan tersebut terpenuhi, maka hari 7 bulanan dianggap sudah tepat. Hari 7 bulanan biasanya dilakukan dengan mengundang keluarga, teman, dan tetangga. Acara ini biasanya dimulai dengan memanggil dukun bayi atau orang yang dianggap memiliki keahlian dalam hal ini. Dukun bayi akan membacakan doa dan memberikan nasihat kepada ibu hamil. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan bersama dan membagikan oleh-oleh. Dalam acara 7 bulanan adat jawa, biasanya disajikan makanan khas Jawa seperti nasi liwet, sayur lodeh, sate, dan lain-lain. Makanan ini biasanya disajikan dalam jumlah yang besar untuk disantap bersama-sama. Selain itu, ada juga tradisi membagikan oleh-oleh kepada tamu sebagai tanda terima kasih dan kemakmuran. Sebagai sebuah tradisi, acara 7 bulanan adat jawa sangat penting untuk dijaga dan dijelaskan kepada generasi muda. Hal ini bertujuan agar tradisi ini tetap terjaga dan dilestarikan. Selain itu, acara 7 bulanan juga menjadi momen yang menyenangkan dan mempererat hubungan antara keluarga dan tetangga. Dalam kesimpulannya, cara menghitung 7 bulanan adat jawa berdasarkan weton adalah dengan mencari hari kelahiran bayi, menentukan weton bayi, dan memilih hari 7 bulanan yang tepat. Acara ini dilakukan dengan tujuan agar bayi dalam kandungan dapat tumbuh sehat, selamat, dan lahir dengan baik. Sebagai sebuah tradisi, acara 7 bulanan adat jawa sangat penting untuk dijaga dan dijelaskan kepada generasi muda. Hal ini bertujuan agar tradisi ini tetap terjaga dan dilestarikan. Makna Simbolis dari Setiap Bulan pada Upacara 7 Bulanan Upacara 7 bulanan merupakan salah satu tradisi adat Jawa yang dipercaya memiliki makna simbolis yang sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Setiap bulannya memiliki arti yang berbeda-beda dan dianggap menjadi saat penting dalam kehidupan ibu hamil. Berikut ini adalah makna simbolis dari setiap bulan dalam upacara 7 bulanan adat Jawa. 1. Bulan ke-1 Ruwah atau roh Bulan pertama disebut dengan bulan roh atau ruwah. Pada bulan this, bayi dalam kandungan dipercayai telah memiliki punca jiwa atau roh, atau yang biasa disebut dengan leluhur. Upacara ini bertujuan untuk memanggil leluhur bayi agar membantu melindungi dan membimbing bayi dalam hidupnya kelak. 2. Bulan ke-2 Lanang atau laki-laki Bulan kedua disebut dengan bulan laki-laki atau lanang. Pada bulan ini, bayi dalam kandungan dipercayai telah memiliki sifat kejantanan atau laki-laki. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur dan meminta perlindungan bagi bayi dan ibunya selama masa kehamilan. 3. Bulan ke-3 Wadon atau perempuan Bulan ketiga disebut dengan bulan perempuan atau wadon. Pada bulan ini, bayi dalam kandungan dipercayai telah memiliki sifat keperempuanan atau wadon, serta memiliki rasa peduli dan kasih sayang. Upacara ini dilakukan sebagai tanda rasa syukur yang diucapkan dengan doa-doa, memohon keselamatan bagi ibu hamil dan bayinya. 4. Bulan ke-4 Nampan atau tempat makan Bulan keempat disebut dengan bulan nampan atau tempat makan. Pada bulan ini, bayi dalam kandungan telah dapat menerima makanan lewat tali pusat dan mulai terbentuk organ-organ tubuh yang penting, seperti jantung, ginjal, dan hati. Oleh karena itu, upacara ini berfungsi memberikan doa-doa dan permohonan agar bayi dapat tumbuh sehat dan kuat hingga keluar dari kandungan. Upacara ini menjadikan momen penting bagi orang tua dan keluarga besar, karena proses kehamilan membutuhkan kesabaran, ketekunan, doa, dan banyak dukungan. Selain itu, upacara 7 bulanan juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kehidupan, keselamatan, dan perlindungan. 5. Bulan ke-5 Sasih atau bulan Bulan kelima disebut dengan bulan sasih atau bulan. Pada bulan ini, bayi dalam kandungan telah memiliki fungsi pendengaran dan dapat merespon suara-suara yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, upacara ini bertujuan untuk memberikan doa-doa supaya bayi mendapatkan kecerdasan dan kesehatan dengan tumbuh sehat dan kuat. 6. Bulan ke-6 Sembahyang atau doa Bulan keenam disebut dengan bulan sembahyang atau doa. Pada bulan ini, bayi dalam kandungan telah dapat menggerakkan tangan dan kaki, serta dapat merasakan sentuhan-sentuhan kasih sayang yang diberikan orang tua. Oleh karena itu, upacara ini dilakukan dengan doa-doa supaya bayi mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidupnya. 7. Bulan ke-7 Kukuruyuk atau ayam berkokok Bulan ketujuh disebut dengan bulan ayam berkokok atau kukuruyuk. Pada bulan inilah, bayi dalam kandungan dipercaya telah siap dilahirkan dan masuk ke dunia nyata. Upacara ini bertujuan untuk petunjuk dan keselamatan saat kelahiran, agar bayi dan ibu melalui proses kelahiran dengan lancar dan selamat. Dalam upacara 7 bulanan adat Jawa, setiap bulannya memiliki makna simbolis yang kosong dan penting. Tradisi ini sering kali menggelar secara sederhana, tetapi memiliki makna yang mendalam bagi orang yang menjalaninya. Mengingat proses kehamilan yang sangat rentan, upacara ini menjadi momentum untuk memberikan harapan, dimana bayi dan ibu dalam keadaan sehat dan selamat. Pelaksanaan Upacara 7 Bulanan secara Tradisional di Jawa Adat Jawa dikenal dengan banyaknya upacara yang dilakukan pada setiap tahapan kehidupan seseorang. Salah satunya adalah upacara 7 bulanan atau sering disebut “mitoni” dalam bahasa Jawa. Upacara mitoni ini dilaksanakan ketika bayi sudah berusia tujuh bulan. Menurut kepercayaan Jawa, upacara ini mempunyai makna untuk membersihkan bayi sehingga terbebas dari pengaruh buruk dan menjaga keselamatan bayi. Berikut ini penjelasan mengenai pelaksanaan upacara 7 bulanan secara tradisional di Jawa. 1. Persiapan Upacara Persiapan upacara mitoni dilakukan sejak jauh-jauh hari. Keluarga akan mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan seperti nasi kuning, ayam goreng, jajanan pasar, dan sesajen. Selain itu, keluarga juga akan mempersiapkan properti seperti tampah, tembaga, dan sanggah pengantin. Dipercaya bahwa clamuran pada tampah tersebut dapat membersihkan energi negatif pada bayi. 2. Prosesi Upacara Prosesi upacara 7 bulanan dimulai dengan adanya doa-doa khusus oleh seorang dukun yang diundang dalam acara tersebut. Kemudian, bayi akan dipindahkan dari tempat tidur ke mosasan. Mosasan adalah sebuah tempat yang dianggap suci dan bersih. Di tempat ini, bayi akan diberi nama baru oleh dukun dan sujud bersama keluarga untuk mendoakan bayi agar selalu dalam lindungan Tuhan. Setelah itu, diadakan pantangan selama empat hari bagi bayi. Pantangan ini dilakukan untuk menjaga bayi dari pengaruh negatif selama masa pantang. Bayi tidak boleh melihat suasana meriah dan suasanapenting lainnya. Namun, keluarga tidak akan menutup pintu rumah. Ini karena ada pertanda bahwa setiap tamu yang datang selama masa pantang dapat membawa kebahagiaan ke rumah tersebut. 3. Konsumsi Makanan Khas Upacara 7 bulanan selain ritual, juga diadakan pesta makan-makan. Makanan khas yang disediakan, yaitu nasi kuning, ayam goreng, dan jajanan pasar. Biasanya nasi kuning diadakan dalam semacam tampah yang terbuat dari anyaman bambu yang dipercaya dapat membersihkan energi buruk. Selain itu, ada juga jajanan pasar seperti klepon, onde-onde, dan kue lapis yang dibuat oleh keluarga atau dijual oleh pedagang kaki lima. 4. Pengajian Pada upacara 7 bulanan, biasanya diadakan pengajian oleh seorang kyai atau ustadz. Pengajian ini bertujuan untuk mendoakan keluarga dan bayi agar selalu dilindungi dan diberkahi oleh Tuhan. Keluarga yang mengadakan upacara juga dapat memohon petunjuk dan nasihat-nasihat keagamaan dari kyai atau ustadz. 5. Mengajarkan Nilai Adat Upacara 7 bulanan juga memberi kesempatan untuk mengajarkan nilai-nilai adat Jawa yang berharga untuk keluarga secara umum serta diwariskan kepada generasi berikutnya. Upacara mitoni ini bertujuan untuk memperkenalkan anak kepada ada Jawa, nilai-nilai dalam masyarakat, anggota keluarga serta teman dari keluarga. Mengajarkan nilai adat tidak hanya tentang upacara mitoni tapi juga berbagai hal yang mengisi kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat memupuk rasa kebersamaan dan semangat gotong-royong dalam keluarga dan masyarakat. Ini dia penjelasan lengkap mengenai pelaksanaan upacara 7 bulanan secara tradisional di Jawa. Dalam upacara mitoni ini, bayi bukan saja diberi nama, tetapi juga dibersihkan dari pengaruh buruk dan dilindungi oleh keluarga serta lingkungan sekitarnya. Upacara ini tidak sekadar kegiatan ritual yang dijalankan tanpa makna dan tujuan, melainkan nilai-nilai adat yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari. Penutup Nah, itulah tadi cara menghitung 7 bulanan adat Jawa yang bisa kamu praktikkan di rumah. Semoga artikel ini bermanfaat dan mudah dipahami. Jika kamu memiliki pertanyaan atau tambahan informasi, jangan ragu untuk mengomentari di kolom bawah ya! Terakhir, terima kasih sudah membaca artikel ini. Jangan lupa untuk mengunjungi situs kami lagi untuk membaca artikel menarik lainnya seputar budaya Jawa dan Indonesia. Sampai jumpa! - Simak cara mengecek Weton yang dilakukan berdasarkan tanggal kelahiran. Menghitung Weton biasanya digunakan dalam budaya Jawa. Dalam perhitungan Weton juga digunakan untuk mempertimbangkan suatu keputusan apakah baik atau buruk. Sementara, Weton kelahiran merupakan hari pada kalender masehi dan pasaran pada kalender Jawa. Terdapat tujuh hari pada kalender Masehi, yaitu Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Sementara terdapat lima hari dalam kalender Jawa, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Cara Hitung Weton dari Tanggal Lahir Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa masing-masing hari dan pasaran mempunyai nilai yang berbeda-beda. Dalam hal ini, cara menghitung Weton bisa dilakukan dengan menjumlahkan nilai dari hari dan pasaran yang dimiliki orang, pada Weton kelahirannya. Contohnya, jika seseorang mempunyai Weton Jumat Wage, maka tinggal menjumlahkan nilai 6 dari hari Jumat dan nilai 4 dari pasaran Wage. Sehingga 6 + 4 = 10. Maka neptu Weton seseorang yang lahir pada Jumat Wage adalah 10. Melansir dari Seperti dikutip dari Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, berikut ini watak bayi baru lahir atau bahkan watak Anda sendiri yang lahir pada hari Jumat Jumat Kliwon Mereka yang dilahirkan pada Jumat Kliwon, jika pria pendiam, tapi jika seorang wanita cerewet. Jumat Legi Ijab kabul adat Jawa Sangat sebelum pemikiran sosok berkembang modern seperti sekarang ini, banyak makhluk Jawa khususnya masih menggunakan hitung-hitungan weton hari kelahiran menurut penanggalan Individu Jawa buat menentukan periode baik dan buruk intern memulai satu hajat besar, misalnya pernikahan, acara selamatan, memulai satu usaha, dan lain-enggak. Selain itu, hitungan weton pula sering digunakan untuk menentukan kecocokan calon teman yang hendak melangsungkan pernikahan. Biasanya jika hasil perhitungan weton kedua antitesis lain diketemukan prospek nan baik, maka untuk meminimalisir probabilitas buruk yang mungkin dapat terjadi, akan dilakukan ruwatan atau mengidas hari akad nikah khusus dan tertentu nan dipercaya boleh menangkal kesialan di kemudian hari akibat ketidakcocokan weton tersebut. Namun kini, seiring perkembangan zaman yang sudah sebegitu majunya seperti yang kita rasakan saat ini. Masyarakat Orang Jawa khususnya mutakadim mulai sukar menunggangi hitung-hitungan weton bagi memulai sesuatu hal raksasa layaknya yang dilakukan sosok-rancangan Jawa terdahulu. Meskipun masih suka-suka orang-orang yang tinggal di pedesaan menggunakannya, namun jumlahnya lain terlalu banyak. Disini saya tidak menyuruh siapapun agar memercayai hitung-hitungan weton, tetapi hanya seumpama pengingat dan menaik wawasan budaya bahwa dulunya si mbah kita wasilah menunggangi cara ini sebagai langkah estimasi kebatinan dalam menentukan nasib baik dan buruk seseorang. Menurut khalayak Jawa, masalah pernikahan bisa diramal menurut weton berpunca unggulan pasangan laki-junjungan dan perempuan. Berikut ini tata cara perhitungannya. Baca juga Hitungan Calon Pasangan Nikah Menurut Primbon Jawa Antagonis ANGKA DAN HARI Murahan JAWA SENIN = 4 SELASA = 3 RABU = 7 KAMIS = 8 JUM’AT = 6 SABTU = 9 Ahad = 5 LEGI = 5 PAHING = 9 P0N = 7 WAGE = 4 KLIW0N = 8 Contoh kasus Misalnya antitesis laki-laki lahir pada Minggu Legi Minggu = 5 + Legi = 5 =>> 10. Sedangkan pasangan perawan lahir plong hari Selasa Wage Selasa = 3 + Wage = 4 =>> 7. Berarti 10 + 7 = 17 ataupun berangkat PEGAT. Berikut ini penjelasan menurut hasil dari penjumlahan weton tersebut 1. PEGAT Sekiranya hasilnya tiba pada PEGAT, maka peluang padanan tersebut akan sering menemukan ki kesulitan di esok, bisa itu dari problem ekonomi, kekuasaan, perselingkuhan nan dapat menyebabkan padanan tersebut bercerai alias pegatan. 2. Kanjeng sultan Jika risikonya tiba sreg Sri paduka, bisa dikatakan pasangan tersebut memang sudah jodohnya. Dihargai dan disegani oleh jiran maupun lingkungan sekitar. Bahkan banyak insan nan sentimen akan keharmonisannya internal membina rumah tangga. 3. JODOH Kalau risikonya start pada Antagonis, berarti pasangan tersebut memang beneran cocok dan berjodoh. Bisa ganti menyepakati segala faedah dan kekurangannya. Rumah tangga bisa rukun hingga sepuh. 4. TOPO Kalau kesudahannya menginjak pada TOPO, kerumahtanggaan membina rumah tangga akan sering mengalami kesusahan di awal-tadinya sekadar akan bahagia pada hasilnya. Penyakit tersebut boleh saja soal ekonomi dan lain sebagainya. Sekadar pada detik mutakadim mempunyai anak asuh dan cukup lama berumah jenjang, akhirnya akan spirit sukses dan bahagia. 5. TINARI Jika hasilnya mulai pada TINARI, itu berarti akan menemukan kebehagaiaan. Gampang privat mencari rezeki dan tidak sampai hidup kekurangan. Hidupnya sekali lagi cangap berkat kejayaan. 6. PADU Jika akhirnya tiba pada PADU, berarti dalam berumah tangga akan sering mengalami pertengkaran. Saja kendatipun sering ki bentrok, tidak sampai membawa ke privat perceraian. Keburukan pertengkaran tersebut terlebih bisa dipicu berasal kejadian-hal yang sifatnya cukup sepele. 7. SUJANAN Jikalau hasiknya start puas SUJANAN, maka dalam berumah tangga akan sering mengalami friksi dan masalah perselingkuhan. Dapat itu dari pihak laki-junjungan atau amoi yang memulai perselingkuhan. 8. PESTHI Jika hasiknya berangkat puas PESTHI, berarti dalam berumah tangga akan rukun, tenteram, adem ayem setakat sepuh. Meskipun suka-suka komplikasi apapun lain akan hingga merusak keteraturan keluarga. Daftar Hasil Perhitungan 1. PEGAT. 2. RATU. 3. Antagonis. 4. TOPO. 5. TINARI. 6. PADU. 7. SUJANAN. 8. PESTHI. 9. PEGAT. 10. Kaisar. 11. Oponen. 12. TOPO. 13. TINARI. 14. PADU. 15. SUJANAN. 16. PESTHI. 17. PEGAT. 18. RATU. 19. JODOH. 20. TOPO. 21. TINARI. 22. PADU. 23. SUJANAN. 24. PESTHI. 25. PEGAT. 26. RATU. 27. JODOH. 28. TOPO. 29. TINARI. 30. PADU. 31. SUJANAN. 32. PESTHI. 33. PEGAT. 34. RATU. 35. Oponen. 36. TOPO

cara menghitung mitoni adat jawa